30 Januari 2010

Kejujuran Pemantik Cinta *)

Menengadahlah!!!
Lihatlah angkasa yang tiada berujung
tundukan wajahmu
Niscaya tampak hamparan bumi nan luas
Semakin menambah kecilnya kita dihadapan Dzat Yang Maha Agung
Kicauan burung di pagi hari, gemercik air sungai dan debur ombak dilautan mengingatkan kita akan ke Mahakuasaan Yang Maha Kuasa lagi Perkasa
Suara alam ini menghentakkan segenap jiwa dan perasaan untuk terus menghamba kepada-Nya...

Bagi orang yang merenungkan fenomena di alam, tampak jelas tanda-tanda keagungan-Nya dalam setiap gerak dan detik. Benar-benar segala kekuasaan ada dalam genggaman tangan-Nya. Dia bisa membalikkan sesuatu yang buruk menjadi baik atau menjadikan yang hina menjadi mulia dan sebaliknya, baik dalam tempo yang cukup lama atau hanya dalam sekejap.

Entah karena apa yang memberikan semangat kepada Mubarak agar bersabar dalam statusnya sebagai budak penjaga kebun delima. Yang jelas, ia menjadi bagian dari ayat Allah yang berkuasa mutlak membalikkan suatu keadaan. Berbulan-bulan dijalaninya titah tersebut dengan amanah. Prinsipnya, tidak boleh ada sebatang pohon pun yang mati karena kehausan atau layu karena terabaikan, tidak dirawat. Dan haram memakan delima orang atau membiarkan delima sang majikan dimakan orang. Sungguh ia amat disenangi oleh kawan-kawan dan orang-orang disekitar kebun.

Mubarak adalah budak dari Nuh bin Maryam. Ia adalah profil budak yang lembut pekertinya, mulia akhlaknya dan cerdas otaknya. Tak pernah ketinggalan ibadah fardhu yang diwajibkan Allah kepada semua hambanya, shalat. Ia gemar menuntut ilmu disela-sela jeda waktunya. Semua ini meningkatkan kualitas pribadinya dihadapan Allah.

Suatu hari Nuh bin Maryam beserta sahabat-sahabatnya melihat-lihat kebun delimanya. “Hai Mubarak, petikkan delima yang manis dan masak!”, terdengar tuannya memerintah Mubarak.
Dipetiknya beberapa buah delimam. Kemudian ia menyerahkan kepada sang majikan.

Dengan rasa senang sang majikan menerima dan mencicipinya. Tidak tahu apa yang terjadi. Setiap kali majikannya mencicipi delima yang barusan dipetik, ekspresi wajahnya menampakkan sesuatu yang tidak mengenakkan. Satu persatu ia cicipi. Setiap itu pula emosinya menaik. Dan akhirnya ia gusar setelah semua delima dicicipi.

"Apakah kamu tidak bisa membedakan delima yang masak dan yang belum? Kamu tidak bisa membedakan yang manis dan yang masam?!!"
Ia menghardik Mubarak dengan nada sewot. Rupanya buah delima itu muasal perubahan ekspresi wajahnya tadi. Dan rasa bersalah merayapi jantung Mubarak. Rasa takutpun mulai menyelinap mengikutinya. Ia membayangkan kekesalan diwajah tuannya. Mubarak sedikit gemetar.

"Maafkan saya Tuan, saya belum pernah mencicipi delima. Jadi saya tidak bisa membedakan delima yang manis dan yang masam."
"Apa? Kamu sudah berbulan-bulan bekerja menjaga kebun dan berkali-kali panen dan kamu bilang belum mencicipi delima?" kedongkolan sang majikan terlihat semakin menjadi.
"Demi Allah Tuan, hamba belum pernah mencicipinya sedikitpun. Bukankah Tuan hanya menyuruh hamba menjaganya dan tidak memberi izin mencicipinya?" terdengar suara serak Mubarak membela diri.

Jawaban itu menghentak jantung sang majikan. Setelah bertahun-tahun berbisnis sebagai petani perkebunan dan ia pun terkenal sebagai juragan didaerahnya, lalu ia juga sudah mempekerjakan banyak orang dalam bisnisnya, namun baru kali ini mendengar jawaban buruh yang mengejutkan.
Sebagai orang cerdas, ia tidak percaya begitu saja pada ucapan Mubarak. Jangan-jangan hanya apologi saja untuk membela diri dari kebodohan fatal dalam kerjanya. Ia lalu menanyakan pada teman-temannya dan tetangga sekitar; pernahkan mereka melihat pekerjanya makan atau sekedar mencicipi delima miliknya.

Jawaban apa yang ia dapat dari penelitian terhadap perilaku Mubarak?
Sungguh, sesuatu yang mengubah rasa jengkel menjadi sayang, marah terpendam berubah menjadi rasa kagum dan kasihan. Ia mendapati jawaban sama dari semua orang yang ditanyanya. "Kami belum pernah melihatnya makan delima!!!" Bahkan seorang temannya bersaksi, "Mubarak orang yang sangat jujur. Ia tidak pernah dusta perkataannya. Kalau ia mengatakan, tidak pernah mencicipi delima sedikitpun semenjak disini, pasti ia benar."
Waktu berlari begitu cepat. Ia tidak pernah menoleh kebelakang sesaatpun. Ia bergerak lurus kedepan. Tak ada hari kemarin, yang ada hari ini dan kalau mungkin hari esok...

Dalam jeda waktu, sang majikan tiada hentinya memikirkan etos kerja budaknya. Dengan tidak disadari, rasa kagum menyelusupi jauh kerelung hatinya. Ia mulai terpesona dengan Integritas Mubarak, pekerjanya yang budak itu. Kali ini dengan nada datar, "Wahai Mubarak, tolong jelaskan alasanmu yang bisa kuterima, mengapa kamu tidak pernah sama sekali mencicipi satu delima pun selama bekerja dikebun itu?"

"Ketika pertama kali aku datang bekerja disini, kata Mubarak mengawali penjelasannya, Tuan menyuruh saya sebatas menjaga. Tuan tidak menjelaskan aku boleh memakan delima yang aku jaga. Itu akadnya. Selama ini aku menjaga perutku jangan sampai kemasukkan makanan yang syubhat, apalagi yang haram. Karena tidak ada izin kebolehan memakan delima, maka aku tidak melakukannya."
"Meskipun delima yang jatuh ketanah, wahai Mubarak?"
"Meskipun yang jatuh ketanah. Sebab ia bukan milikku. Ia tidak halal bagiku."

Sang majikan diam tertegun. Tak berkata-kata lagi. Pikirannya bergemuruh. Sementara matanya berkaca-kaca. Tetesan air mata kagum berbaur dengan rasa haru yang menggelora dalam jiwanya. Lalu,
"Wahai Mubarak, aku meiliki seorang anak gadis. Menurutmu, aku harus menikahkan dia dengan siapa?"

Jantung Mubarak berdebar mendengar pertanyaan tersebut. Ia tidak menduga tuannya secepat itu mengalihkan pembicaraan kepada hal yang sangat sensitif bagi anak-anak muda. Dengan berusaha menahan perasaannya, Mubarak menjawab :
"Orang yahudi menikahkan anak perempuannya karena harta. Orang nasrani menikahkan putrinya karena keindahan. Orang arab menikahkan nya karena keturunannya. Sedangkan orang Islam menikahkan putrinya kepada seseorang karena ketaqwaannya. Tuan silahkan memilih, mau masuk kelompok yang mana. Dan nikahkanlah putri Tuan dengan orang yang sekelompok dengan Tuan."
Mestinya jawaban seperti itu tidak keluar dari lisan seorang pekerja semisal Mubarak. Itu adalah tausyiahnya seorang alim. Jawabannya sungguh berbobot. Rangkaian katanya indah. Tutur bahasanya runut, singkat, padat, dan berbobot. Menepis statusnya yang hanya seorang kuli penjaga kebun.
"Aku lihat, tidak ada orang yang lebih bertaqwa darimu." Begitu perkataan yang sejenak meluncur dari lisan tuannya.

Akhirnya, pemilik kebun itu menikahkan putrinya yang sholihah dengan Mubarak. Dara jelita itu dipersunting oleh pemuda pemilik hati. Ya, Mubarak memang kaya hati meski miskin harta. Sebuah pernikahan barokah yang melahirkan puutra terbaik Islam. Abdullah bin Mubarak atau lebih akrab disebut Ibnu Mubarak.


*) Kisah Cinta Penggugah Jiwa by Irfan Supandi

10 Januari 2010

Arti Kesendirian

Mujahidah Tangguh

Sebutir air ikut mengucur dari sebuah slang air di tangan seorang tukang kebun. Ia merasa dirinya seperti kekuatan raksasa yang mampu mematahkan ranting ringkih dan dedaunan kering di kebun yang gersang, karena musim kemarau yang sangat panjang.

Tetapi, setelah slang itu terserak kembali sendiri dan menempel di sehelai daun mawar yang masih menghijau. Sebutir air itu menjadi oase kecil yang amat cantik di mata seorang pelukis yang sedang memindahkan keindahan mawar itu ke atas kanvasnya yang dipesan oleh istana untuk dihadiahkan kepada tamu negara. Dan butir air itu pun terpindahkan gambarnya menjadi puncak pesona di dalam sebuah lukisan yang membuat semua orang takjub kepada kemolekannya.

Sampai akhirnya, tetesan air itu merasa dirinya melayang-layang oleh bahagia. Karena meskipun hanya setetes dan tidak lagi terkumpul sebagai sebuah kekuatan ia masih bisa memberikan arti. Lalu, butir air itu berpikir bahwa seandainya ia tidak terpercik sendirian ke atas dedaunan, tetapi tetap berkumpul dalam sebuah kungangan air, ia mungkin hanya menjadi tempat tetas nyamuk berdarah. Jadi, alhamdulillah kesendirian punya arti yang tak kecil bila disyukuri.