16 November 2009

At The Time For Idul Adha


Assalammu'alaikum Wr Wb

Alhamdulillah, tak terasa Idul Adha semakin dekat, waktu begitu cepat meninggalkan kita dan rasa syukur tak henti-hentinya diucapkan karena masih diberikan waktu untuk bertemu dengan Idul Adha tahun ini. Dari browsing tentang Idul Adha di Internet, ada hal yang menarik perhatian saya untuk saya postingkan disini, diantaranya adalah:

Antara “Qurban” dan “Korban”

Kalau ditanyakan makna “qurban”, banyak di antara umat Islam yang masih salah mengerti. Dipikirnya, “qurban” itu berarti “menyembelih hewan ternak”. Padahal, meskipun istilah ini memang identik dengan penyembelihan hewan ternak, namun pengertiannya yang sebenarnya justru jauh lebih luas lagi.
Istilah “menyembelih hewan ternak” itu lebih cocok untuk dijadikan terjemahan dari nama lainnya Idul Adha, yaitu “Idun-Nahaar”, yang artinya adalah “hari penyembelihan”. Kata “an-nahaar” adalah bentuk lain dari kata terakhir pada ayat kedua surah Al-Kautsar. Pada ayat tersebut, umat Islam diperintahkan untuk mendirikan shalat hanya kepada Allah SWT dan menyembelih hewan kurban, karena Allah telah memberikan rahmat yang banyak (sesuai penjelasan pada ayat sebelumnya).
Qurban” itu sendiri akar katanya sama dengan kata “qariib”, yang artinya “dekat”. Maka ber-qurban dalam terminologi Islam artinya adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mendekatkan diri kepada Allah tentu saja bisa dilakukan dengan berbagai cara. Mereka yang sedang menunaikan ibadah haji akan melakukannya dengan wukuf di Arafah, sedangkan kita yang di tanah air juga mendekat kepada Allah dengan segala cara yang bisa kita lakukan, antara lain dengan menyembelih hewan ternak.


Antara Simbolik dan Empirik

Idul Adha adalah salah satu bukti bahwa Islam bukanlah agama simbolik, melainkan murni empirik. Untuk mendekatkan diri kepada Allah, kita tidak diperintahkan untuk mengurung diri di rumah untuk membaca Al-Qur’an terus-menerus selama hari-hari tasyriq, tidak juga diperintah untuk meninggalkan semua kebutuhan jasmani dan keinginan kita terhadap kenikmatan duniawi.
Setelah hewan-hewan itu disembelih, dagingnya tidak perlu diletakkan di puncak bukit untuk menunggu diambil oleh Allah SWT. Ia juga tidak perlu diletakkan di bawah sebuah pohon besar yang dikeramatkan, atau diadakan sebuah upacara ritual khusus untuk meresmikannya sebagai daging qurban. Yang ada hanya aturan cara menyembelih (yang sebenarnya sangat sederhana), dan standar hewan yang akan di-qurban-kan.
Kalau mau mendekat kepada Allah, maka bagikanlah sebagian rizki dari-Nya kepada orang-orang lain di sekitarmu! Perintah ini sangat sederhana dan dapat dipahami oleh siapa pun. Tidak ada yang membingungkan dari perintah ini, dan sedikit pun tidak ada simbolisme. Hewan-hewan itu disembelih bukan untuk sesajen, melainkan untuk dimakan bersama-sama. Kalau mau mendekatkan diri kepada Allah, buatlah saudaramu kenyang! Apa perlu penjelasan lagi? Duhai, betapa Islam itu sungguh mudah…


Antara yang Tua dan yang Muda
Banyak orang melihat kisah ‘penyembelihan Ismail AS.’ sebagai bukti kekokohan iman Nabi Ibrahim AS. Sama sekali tidak salah, namun saya melihat ada sisi lain dari kisah ini. Ada ibroh yang jarang diulas di ceramah-ceramah, padahal ia sangat penting untuk diungkapkan.
Saya melihat terjadinya sebuah ‘persaingan sengit’ antara ayah dan anak dalam kisah tersebut. Fastabiqul khairaat. Nabi Ibrahim as. mengeraskan hatinya untuk melaksanakan perintah Allah SWT. Bisa Anda bayangkan sendiri betapa hati seorang ayah hancur berkeping-keping ketika ia menceritakan pada anaknya bahwa Tuhan telah memerintahkan untuk menyembelihnya. Apakah kita bisa membicarakan hal seperti ini pada anak yang sangat disayangi?
Di sisi lain, Ismail as. sebagai yang muda juga tidak rela kalau ayahnya mengunggulinya begitu saja. Tidak tanpa ‘perlawanan’. Justru setelah mendengar perintah penyembelihan tersebut, Ismail as. langsung menawarkan lehernya, tanpa keraguan sedikit pun. Yang muda tidak mesti kalah dengan yang tua. Bahkan lebih tegasnya lagi : yang muda tidak boleh kalah begitu saja dengan yang tua. Kebaikan tidak mengenal kriteria usia.


Antara Idul Fitri dan Idul Adha

Jarak yang cukup dekat antara Idul Fitri dan Idul Adha juga menarik untuk diambil hikmahnya. Saya berkeyakinan bahwa Ramadhan adalah ‘sekolah’ untuk memperbaiki diri bagi umat Muslim. Selayaknya sekolah, tidak semua orang bisa lulus. Kalau pun lulus, tidak semuanya mendapat nilai sempurna.
Nilai sempurna itu adalah kembalinya kita kepada fitrah, yaitu suci tanpa dosa. Banyak juga yang tidak sampai kepada derajat ini, tapi tidak bisa juga dianggap sia-sia ibadahnya di bulan Ramadhan. Selama bulan Ramadhan kita diberi target puncak, yaitu membersihkan diri dari segala dosa, sehingga pada Hari Raya Idul Fitri, kita semua suci bagaikan bayi.
Keberadaan Idul Adha yang tidak berapa jauh dari Idul Fitri membuat saya merasa ‘tersindir’. Seolah-olah Allah SWT berfirman dengan hal ini, “Wahai hamba-Ku, kalau tempo hari engkau gagal mencapai target maksimal di Hari Raya Idul Fitri, maka ada kesempatan untuk mendekat kepada-Ku pada Hari Raya Idul Adha. Kalau memang engkau tempo hari gagal menjadi manusia yang suci dari dosa-dosa, setidaknya sekarang jadikanlah dirimu berguna bagi orang lain dengan ber-qurban.”
Tentu saja, ini tidak berarti bahwa Idul Adha didesain khusus untuk mengobati ‘kegagalan’ di Hari Raya Idul Fitri. Yang jelas, kedua hari raya tersebut adalah rahmat Allah yang tak terukur nilainya.
Wallaahu a’lam.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

*Akmal

2 komentar:

Said